Langsung ke konten utama

Michelson Morley Experiment

I.  PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
          Hingga sekitar pertengahan abad ke-17 fisikawan pada umumnya menganggap bahwa cahaya terdiri atas arus korpuskul dalam jumlah yang sangat besar. Korpuskul-korpuskul ini dikatakan terpancarkan oleh suatu sumber cahaya yang kemudian merambat ke arah luar. Cahaya dapat menembus bahan yang bening tetapi akan memantul dari permukaan yang tidak bening. Jika korpuskul ini memasuki mata, maka indera penglihatan akan terangsang.
         Di sekitar tahun 1678 fisikawan Christian Huygens melakukan eksperimen yang menunjukkan bahwa hukum pemantulan dan hukum pembiasan cahaya dapat dijelaskan dengan menggunakan dasar teori gelombang. Meskipun eksperimen ini memperlihatkan dengan cukup jelas bahwa cahaya merupakan sebuah gelombang, sejumlah fisikawan masih tetap menganggap bahwa cahaya terdiri atas korpuskul. Beberapa abad kemudian, tepatnya pada perempat pertama abad ke-19, penelitian Thomas Young dan Augustin Fresnel mengenai interferensi, dan eksperimen pengukuran kecepatan cahaya di dalam zat cair oleh Leon Foucault memperlihatkan secara meyakinkan bahwa terdapat sejumlah fenomena optik yang penjelasannya berdasarkan teori korpuskul tidak memadai.
           Peristiwa interferensi dalam eksperimen Young, dan fenomena difraksi hanya dapat dijelaskan dengan memuaskan jika cahaya merupakan sebuah gelombang. Bahkan dalam eksperimennya, Young dapat mengukur panjang gelombang cahaya, dan Fresnel membuktikan bahwa cahaya merambat dalam garis lurus. Efek difraksi yang diamati oleh Grimaldi dan beberapa ahli optik lainnya hanya dapat diterangkan berdasarkan sifat-sifat sebuah gelombang.
          Kemajuan penting selanjutnya dalam teori cahaya sebagai gelombang adalah hasil yang diperoleh fisikawan James Clerk Maxwell pada tahun 1873 yang memperlihatkan bahwa rangkaian listrik yang berosilasi memancarkan gelombang elektromagnetik. Kecepatan gelombang ini sangat mendekati nilai kecepatan rambatan cahaya yang diperoleh melalui hasil pengukuran. Hasil ini semakin menegaskan bahwa cahaya tidak lain adalah sebuah bentuk gelombang. Karena gelombang dipahami pada masa itu membutuhkan sebuah medium untuk merambat, maka untuk gelombang cahaya dihipotesiskan merambat melalui sebuah medium yang disebut eter.
          Hipotesis tentang keberadaan eter ini menarik minat dua orang fisikawan yaitu A. A. Michelson dan Morley. Pada tahun 1887 dengan menggunakan sebuah interferometer yang disebut interferometer Michelson kedua fisikawan ini melakukan eksperimen untuk merumuskan hubungan antara gerak relatif bumi terhadap eter. Secara tidak terduga, eksperimen mereka justru menunjukkan bahwa eter sebagai medium perambatan gelombang cahaya tidak benar sama sekali. Dalam eksperimen ini, akan dipelajari tentang prinsip dasar interferometer Michelson. Sebuah alat optis yang telah membuktikan bahwa eter sebagai medium rambat cahaya ternyata tidak terdapat di alam ini. Alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan panjang gelombang cahaya yang dihasilkan oleh sebuah sumber cahaya.
 
2. Rumusan Masalah
          Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu bagaimana prinsip dasar Interferometer Michelson dalam menentukan panjang gelombang sumber cahaya seperti sinar laser He-Ne?
 
3. Tujuan
         Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui prinsip dasar Interferometer Michelson dalam menentukan panjang gelombang sumber cahaya seperti sinar laser He-Ne.
 
II. KAJIAN PUSTAKA
         Fisika teori di akhir abad ke-19 menganggap eter sama seperti gelombang air harus memiliki media untuk memindahkan seluruh (air), dan suara ombak yang terdengar tentunya memerlukan media (seperti udara atau air), dengan demikian gelombang cahaya juga memerlukan media. Karena cahaya dapat melalui perjalanan kekosongan, ia diasumsikan bahwa kekosongan harus berisi media cahaya. Karena kecepatan cahaya yang sangat besar, merancang percobaan untuk mendeteksi keberadaan tidaklah mudah. Sejak Bumi diciptakan terdapat banyak gerakan yang relatif satu dengan yang lainnya. Aliran eter di seluruh berupa angin eter. Pada suatu titik pada permukaan bumi, besar dan arah angin akan berbeda-beda dengan waktu dan musim. Dengan analisa laboratorium kecepatan cahaya dalam arah yang berbeda pada berbagai waktu yang berbeda, dapat diperoleh dengan mengukur gerakan bumi relatif terhadap eter.
         Perbedaan yang diharapkan dalam mengukur kecepatan cahaya cukup kecil, mengingat kecepatan di bumi dalam orbit sekitar matahari itu, seratus dari satu persen dari kecepatan cahaya. Sejumlah fisikawan telah berusaha untuk melakukan pengukuran ini pada pertengahan 1800, namun hal tersebut menuntut keakuratan terlalu besar untuk pembuatan percobaan yang ada. Misalnya, Fizeau-Foucault menggunakan perangkat yang bisa mengukur kecepatan cahaya dengan kesalahan lima persen, hampir tidak cukup untuk melakukan pengukuran angin eter.
         Michelson memiliki solusi untuk mengukur dan memastikan keberadaan eter. Michelson membangun sebuah perangkat cukup akurat untuk mendeteksi angin eter. Perangkat yang dirancang, kemudian dikenal sebagai interferometer, dikirim satu sumber cahaya putih melalui setengah silvered cermin yang digunakan untuk membagi cahaya datang menjadi dua berkas. Setelah keluar dari beams splitter Cahaya akan diteruskan dan dipantulkan sebesar 45 derajat kemasing-masing cermin. Hasil pantulan kedua cermin ini akan berinterfensi satu sama lain sehingga akan membentuk pola interferensi berbentuk cincin pada layar. Jika bumi bergerak melalui media eter, maka akan ada keterlambatan salah satu pantulan cahaya di salah satu permukaan beams splitter. Akibat keterlambatan ini akan menghasilkan pola yang cacat pada layar. Sedikit perubahan dalam waktu tempuh akan menghasilkan pergeseran posisi (gangguan frinji). Jika eter telah berubah relatif terhadap matahari, maka bumi akan menghasilkan sebuah gerakan putaran seragam 4% ukuran satu lintasan.
          Dalam beberapa kali versi dari percobaan Michelson-Morley telah menjadi biasa. Lasers dan masers memperkuat cahaya oleh terpental itu berulang kali bolak-balik di dalam hati-hati sesuai rongga, sehingga inducing tinggi energi atom dalam rongga untuk melepaskan lebih ringan. Hasilnya adalah jalur yang efektif panjang kilometer. Lebih baik lagi, terang emitted dalam satu rongga dapat digunakan untuk memulai sama lain dalam mengatur jeram di sudut kanan, sehingga membuat interferometer dari akurasi ekstrim.
          Interferometer Michelson dibuat pertama kali oleh seorang fisikawan Amerika A. A. Michelson. Secara umum alat ini berfungsi memecah sebuah berkas cahaya menjadi dua bagian kemudian menggabungkan kembali kedua berkas tersebut untuk membentuk sebuah pola interferensi. Alat ini dapat digunakan untuk mengukur panjang gelombang sebuah gelombang. Diagram skematis interferometer Michelson ditunjukkan seperti pada gambar 1 di bawah ini.
          Sebuah berkas cahaya yang berasal dari sumber cahaya monokromatik dipecah menjadi dua buah berkas oleh cermin pemecah berkas M, yang membentuk sudut 45o terhadap arah berkas cahaya. Satu bagian pecahan berkas ditransmisikan secara horizontal ke arah cermin M2, dan satu bagian pecahan berkas yang lainnya dipantulkan secara tegak lurus ke arah cermin M1. Dengan demikian, kedua berkas ini menempuh lintasan yang berbeda L1 dan L2. Setelah masing-masing berkas ini dipantulkan dari M1 dan M2, kedua berkas ini selanjutnya digabungkan kembali di M untuk menghasilkan sebuah pola interferensi, yang dapat diamati oleh teleskop atau dijatuhkan pada sebuah layar.
Kaca pelat P, yang memiliki ketebalan yang sama dengan M, diletakkan pada jalur lintasan berkas cahaya horizontal untuk memastikan bahwa kedua berkas cahaya pantulan melewati kaca dengan ketebalan yang sama. Syarat terjadinya interferensi untuk kedua berkas cahaya ini ditentukan oleh selisih panjang lintasannya.

           Berdasarkan gambar di atas, bayangan dari M2 dihasilkan oleh cermin M di M2’, yang hampir paralel dengan M1. Karena M1 dan M2 tidak tepat paralel satu sama lain, bayangan M2’ membentuk sudut terhadap M1. Dengan demikian, ruang antara M2’ dan M1 ekuivalen dengan sebuah lapisan udara yang berbentuk baji. Ketebalan efektif lapisan udara ini dapat diubah-ubah dengan menggerakkan cermin M1. Karena berkas cahaya bergerak antara M1 dengan pemecah berkas dua kali, maka menggerakkan M1 sejauh ¼ panjang gelombang menuju pemecah berkas akan mengurangi lintasan optik sebesar ½ kali panjang gelombang. Pada kondisi ini, pola interferensi yang terbentuk sebelumnya akan berubah, jari-jari maksimum menurun dan akan menempati posisi minimal sebelumnya. Dengan menggerakkan cermin perlahan-lahan sejauh dm dan menghitung N, yaitu banyaknya pola interferensi yang kembali ke kondisi awal, maka panjang gelombang cahaya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut
Panjang gelombang sianr laser He-Ne yaitu 632,8 nm.

III. METODE EKSPERIMEN

a. Alat dan Bahan
          Dengan menggunakan perangkat percobaan interferometer Michelson, maka panjang gelombang sumber cahaya yang digunkan dapat diketahui. Perangkat yang digunakan adalah sebagai berikut

  1. Basic interferometer 
  2. Laser He-Ne
  3. Laser alignment bench
  4. Perangkat pendukung interferometer, dudukan komponen-komponen, polarisator terkalibrasi.
          Pengambilan data dilakukan dengan mengukur besar pergeseran lintasan dari setiap frinji yang terbentuk. Dengan mengetahui nilai pergeseran (dm) maka panjang gelombang cahaya yang digunakan dapat di ketahui. 

b. Prosedur Kerja
          Prosedur dalam pengambilan data adalah sebagai berikut:
  1. Mengatur posisi laser dan interferometer untuk modus Michelson. Susunan yang benar seperti pada gambar 2. 
  2. Mengatur tombol micrometer pada penunjukan menengah (misalnya 50 mikrometer).
  3. Memutar tombol micrometer satu putaran berlawanan arah jarum jam hingga titik nol pada micrometer sejajar dengan tanda indeks. Mencatat penunjukan micrometer pada posisi tersebut.
  4. Mengatur posisi viewing screen sehingga salah satu tanda pada skala millimeter segaris dengan frinji pola interferensi.
  5. Memutar tombol micrometer searah jarum jam. Menghitung jumlah frinji yang melewati tanda referensi yang telah dibuat (20 frinji).
  6. Mencatat dm. Setiap divisi kecil pada micrometer sebanding dengan 10-6 meter pada jarak gerakan cermin.
  7. Mencatat N, jumlah transmisi frinji.
  8. Mengulangi langkah (3) sampai dengan (7) minimal 15 kali.


c. Defenisi Operasional Variabel
            Secara operasional variable yang digunakan didefenisikan sebagai berikut
  1. Lebar terang pusat frinji adalah lebar daerah terang yang terletak pada pusat frinji yang terlihat pada viewing screen. 
  2. Posisi terang pusat pada frinji interferensi adalah posisi daerah terang yang terletak pada pusat frinji yang terlihat pada garis-garis grid di viewing screen.
  3. Jarak pemecah berkas ke cermin M1 (cermin yang dapat digeser) adalah jarak antara pemecah berkas terhadap cermin M1. Cermin M1 adalah cermin yang dapat digeser pada perangkat interferometer Michelson.
  4. Perubahan frinji adalah pergeseran garis prinji yang terletak di luar daerah terang pusat ke arah dalam menggantikan terang pusatnya.


IV. HASIL EKSPERIMEN
a.    Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan dari eksperimen yang dilakukan ditampilkan dalam tabel 4.1 di bawah ini.
Dengan jumlah frinji (N) sebanyak 20. 
b.    Analisa Data
Berdasarkan  hasil eksperimen pada tabel 4.1 di atas, maka dengan menggunakan persamaan
akan diperoleh panjang gelombang sumber cahaya yang digunakan.
Hasil perhitungannya dapat dilihat dalam tabel 4.2 di bawah ini.
Ketidakpastian mutlak hasil perhitungan panjang gelombang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Dimana,   

dan n = 15, dengan menggunakan nilai dalam tabel 4. 2 dan n = 15, diperoleh
dengan demikian akan diperoleh
dan kesalahan relatif sebesar,

Sehingga hasil perhitungan besar panjang gelombang sumber yang digunakan dapat dilaporkan sebesar,

c.    Pembahasan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, sumber laser He-Ne memancarkan cahaya ke arah lensa pembagi berkas (BS) yang menyebabkan sinar akan terbagi dua, yakni sebagian menuju cermin M1 dan sebagian menuju cermin M2. Pantulan cahaya masing dari cermin M1 dan M2, akan bersatu kembali pada lensa pembagi berkas (BS), dan diteruskan ke layar pengamatan (LP) dengan menghasilkan pola gelap-terang, berbentuk cincing yang disebut Frinji.
Proses interferensi yang terjadi akibat adanya beda lintasan pada saat pantulan cahaya masing-masing dari cermin M1 dan M2 dan bersatu kembali pada lensa (BS), akan menghasilkan pola intensitas yang baru. Jika terjadi proses interferensi yang saling menguatkan maka akan terbentuk pola terang, dan sebaliknya jika terjadi interferensi yang saling melemahkan, maka akan terbentuk pola gelap pada layar pengamatan (LP). Dengan demikian akan menghasilkan pola intensitas baru berupa pola gelap-terang (Frinji).
Karena berkas cahaya interferensi bersumber dari berkas yang sama maka pada dasarnya memiliki fase yang sama (sefase). Perbedaan fase relatif pada saat bertemu bergantung pada panjang lintasan optiknya. Panjang lintasan optik berkas cahaya pantul dapat diubah dengan menggerakkan M1. Jika cermin M1 digerakkan mendekati lensa pembagi berkas sejauh seperempat panjang gelombang maka akan mengurangi panjang lintasan optik sebesar seperdua panjang gelombang.
Besar perpindahan dari cermin M1 dapat diukur dengan menggunakan mikrometer yaitu dengan mencatat nilai X0 dan Xi. X0 merupakan posisi awal yaitu penunjukan untuk tampilan frinji ke nol, sedangkan Xi yaitu nilai penunjukan pada mikrometer untuk frinji ke-i. Dalam kegiatan ini jumlah frinji yang diambil yaitu 20 frinji. Selisish antara X0 dan Xi merupakan besar pergeseran dari cermin M1. Hasil frinji yang terbentuk  pada layar pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini.
Dari hasil analisa data diperoleh panjang gelombang laser He-Ne yaitu


 Yang  berarti bahwa panjang gelombang laser He-Ne yang dilaporkan diterima pada rentang 557 nm sampai dengan 669 nm, dengan kesalahan sebesar 1,03 persen. Harga referensi dari panjang gelombang He-Ne yaitu 632,8 nm yang berarti nilai ini berbeda dengan rata-rata yang diperoleh dari hasil eksperimen. Akan tetapi nilai referensi ini masih berada dalam rentang yang dapat diterima. Sehingga pada dasarnya eksperimen yang dilakukan sudah sesuai namun masih perlu ditingkatkan ketelitiannya sehingga kesalahannya lebih kecil lagi. 


V. KESIMPULAN DANSARAN

a. Kesimpulan
           Berdasarkan pembahasan pada Bab IV, maka hasil dari ekperimen yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Prinsip kerja dari Interferometer Michelson yaitu laser He-Ne memancarkan cahaya ke arah lensa pembagi berkas (BS) yang menyebabkan sinar akan terbagi dua, yakni sebagian menuju cermin M1 dan sebagian menuju cermin M2. Pantulan cahaya masing dari cermin M1 dan M2, akan bersatu kembali pada lensa pembagi berkas (BS), dan diteruskan ke layar pengamatan (LP) dengan menghasilkan pola gelap-terang berbentuk cincing yang disebut Frinji 
  2. Perangkat Interferometer Michelson dapat digunakan untuk menentukan panjang gelombang dari laser He-Ne ataupun sumber yang lain
  3. Dari hasil analisa data diperoleh panjang gelombang laser He-Ne yaitu
b. Saran
         Untuk memperoleh nilai yang lebih akurat, disarankan agar pada saat pengambilan data hendaknya semua dalam kondisi diam (tidak bersuara) karena interferensi yang terbentik sangat terpengaruh oleh suara (bunyi). Untuk bahan penelitian selanjutnya, mahasiswa dapat mengikaji bagimana pengaruh frekuensi bunyi terhadap pola gelap terang (frinji). Ini dapat dipikirkan dengan menggunakan perangkat yang dapat mengatur frekuensi yang dapat dikeluarkan melalui speaker.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Giancoli, Douglas C. 2001. Fisika Jilid 2 edisi kelima (Terjemahan). Jakarta. Erlangga.
  2. Halliday dan Resnik.1991. Fisika Jilid 2 (Terjemahan). Jakarta Erlangga.
  3. Sears dan Zemansky.1987. Fisika Untuk Universitas 3 Optika dan Fisika Modern (terjemahan). Jakarta. Binacipta.
  4. Sunardi dan Indra, Etsa. 2006. Fisika Bilingual Untuk SMA/MA kelas XII semester 1 dan 2. Bandung. Yrama Widya
  5. Surya, Yohanes. 2006. Fisika itu Mudah, SMU kelas XII. Tangerang. PT. Kandel.
  6. Tim Eksperimen Fisika Modern. 2009. Penuntun Eksperimen Fisika Modern Program S2. Makassar. Laboratorium Fisika Unit Fisika Modern FMIPA UNM.
  7. Tipler, Paul A. 1998. Fisika untuk Sains dan Teknik Jilid 1 Edisi 2 (Terjemahan). Jakarta : Erlangga.
  8. Young, Hugh D., dan Roger A. Freedman. 1999. Fisika Universitas Jilid 2 Edisi Kesepuluh (Terjemahan). Jakarta : Erlangga. 

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat...
Ditulis Dirumah Kopi, 21 November 2009

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Spektrum Atom Hidrogen

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Jika sebuah gas diletakkan di dalam tabung kemudian arus listrik dialirkan ke dalam tabung, gas akan memancarkan cahaya. Cahaya yang dipancarkan oleh setiap gas berbeda-beda dan merupakan karakteristik gas tersebut. Cahaya dipancarkan dalam bentuk spektrum garis dan bukan spektrum yang kontinu. Kenyataan bahwa gas memancarkan cahaya dalam bentuk spektrum garis diyakini berkaitan erat dengan struktur atom. Dengan demikian, spektrum garis atomik dapat digunakan untuk menguji kebenaran dari sebuah model atom. Istilah atom pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli filsafat Yunani bernama Democritus (460-370 SM). Setiap zat dapat dibagi atas bagian-bagian yang lebih kecil, sampai mencapai bagian yang paling kecil yang tidak dapat dibagi lagi. Bagian yang tak dapat dibagi itu oleh Demokritus disebut atom ,dari kata Yunani ”atomos” yang artinya tak dapat dibagi. Selanjutnya, para filsuf yang muncul kemudian, seperti Plato dan Aristoteles merumuskan seb

Efek Fotolisrik

BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang            Efek fotolistrik adalah fenomena terlepasnya elektron logam akibat disinari cahaya. Ditinjau dari perspektif sejarah, penemuan efek fotolistrik merupakan salah satu tonggak sejarah kelahiran fisika kuantum. Untuk merumuskan teori yang cocok dengan eksperimen, kita dihadapkan pada situasi dimana paham klasik yang selama puluhan tahun diyakini sebagai paham yang benar, terpaksa harus dirombak. Paham yang dimaksud adalah konsep cahaya sebagai gelombang tidak dirombak, fenomena efek fotolistrik tidak dapat dijelaskan secara baik.            Paham yang baru yang mampu menjelaskan secara teoritis fenomena efek fotolistrik adalah bahwa cahaya sebagai partikel namun demikian, munculnya paham baru ini menimbulkan polemik baru. Penyebabnya adalah bahwa paham cahaya sebagai gelombang telah dibuktikan kehandalannya dalam menjelaskan sejumlah besar fenomena yang berkaitan dengan fenomena difraksi, interferensi, dan polarisasi. Sementara itu, fenomen

Efek Hall

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Adanya gaya pada muatan bergerak dalam sebuah konduktor yang berada dalam medan magnet di peragakan oleh efek hall. Kawat berarus listrik yang terletak dalam medan magnet dengan arah tegak lurus dengan arah arus maka kawat akan mengalami gaya magnetik sehingga menyebabkan kawat akan melengkung. Namun bagaimana dengan sebuah plat konduktor (lempengan) yang berarus listrik berada dalam medan magnet, apakah plat tersebut akan mengalami gaya? Sebuah pelat yang dialiri arus listrik dengan kerapatan arus J, yang geraknya tegak lurus terhadap medan magnet B, dan medan elektrostatik ataaupun medan nonelektrostatik E dengan arah yang tegak lurus terhadap B dan J. Jika nilai-nilai ini dapat diukur, maka beberapa variable yang sangat penting dalam proses konduksi dapat diketahui. Variable tersebut diantaranya adalah kerapatan pembawa muatan dalam bahan yang digunakan, konduktivitas bahan, konstanta hall bahan, dan jenis pembawa muatan dalam bahan yang diguna